Hamil dan Melahirkan di Newcastle, UK
Sudah lama sebenarnya ingin menuliskan pengalaman hamil dan melahirkan di uk di blog ini, namun apa daya... Draft hanya tinggal draft yang sudah tidak tersentuh berbulan-bulan dan akhirnya terlupakan. Untunglah seorang teman yang pada suatu hari meminta saya untuk sharing pengalaman tentang hamil dan melahirkan di uk sini, secara tidak langsung mengingatkan saya kembali pada draft itu.
Alhamdulillah, puji syukur hanya kepada Allah Ta'aala yang telah menitipkan amanah dan tanggungjawab yang luar biasa indahnya kepada keluarga kecil kami. Ya, hari itu tepat pada bulan mei tahun 2013 saya positif hamil. Sesuai prosedur yang ada disini, saya "melapor" ke GP, sejenis klinik kesehatan yang tersebar di beberapa tempat di uk. Disini memang tidak seperti di Indonesia yang terdapat banyak sekali dokter praktek kandungan. Tempat layanan kesehatan disini secara umum dibagi dalam beberapa bagian.
Pusatnya adalah Royal Victoria Infimary (RVI), adalah sebuah rumah sakit umum yang besar dan satu-satunya di Newcastle. Tidak semua orang sakit bisa langsung mendatangi RVI. Bahkan saat kasus emergency pun secara prosedur harus menghubungi pihak emergency terlebih dahulu sebelum diijinkan datang kesana. Pada kasus lain, pasien yang datang ke RVI adalah pasien rujukan dari dokter dan bidan yang ada di GP. GP menurut saya sama seperti klinik di Indonesia. GP tersebar di beberapa tempat. Setiap warga, baik itu warga lokal maupun pendatang yang menetap di uk diwajibkan untuk mendaftarkan diri di GP yang mereka inginkan, semakin dekat dengan alamat rumah semakin baik menurut saya. Lalu, setiap warga akan mendapatkan nomor NHS, National Health Service. Bagi kami pendatang dengan status pelajar, biaya kesehatan ditanggung oleh pemerintah uk. Namun sistem di GP pun tidak bisa seenaknya tinggal datang langsung diservice. Bila ingin bertemu dengan dokter, pasien diharuskan untuk membuat appoinment terlebih dahulu. Bila sedang mujur, si pasien dapat bertemu dokter keesokan harinya. Namun bila tidak, kemungkinan bertemu dokternya baru beberapa hari kemudian. Tak jarang ada yang sudah sembuh duluan sebelum sempat bertemu dokter. Hehe..Tapi jangan khawatir, untuk kasus yang butuh penanganan segera seperti luka kecil yang butuh jahitan, terbentur, keseleo, dll, atau bagi pasien yang khawatir akan penyakitnya bisa datang ke Walk In Centre. Walk in ini hampir sama dengan klinik di Indonesia karena pasien bisa langsung ditangani saat itu juga. Namun bedanya, di Walk In tidak ada dokter melainkan hanya perawat yang bertugas. Bila para perawat merasa si pasien butuh penanganan yang lebih intensif, maka perawat akan membuat surat rujukan agar si pasien bisa segera bertemu dengan dokter. Selain RVI, GP, dan Walk In Centre, ada klinik lainnya seperti klinik untuk mata, gigi, dan walk in yang menangani masalah sex dan kontrasepsi. Data masing-masing pasien sistemnya terpusat sehingga kemanapun si pasien pergi tak perlu repot-repot harus isi formulir ini dan itu. Cukup dengan memberitahu NHS number saja.
Pusatnya adalah Royal Victoria Infimary (RVI), adalah sebuah rumah sakit umum yang besar dan satu-satunya di Newcastle. Tidak semua orang sakit bisa langsung mendatangi RVI. Bahkan saat kasus emergency pun secara prosedur harus menghubungi pihak emergency terlebih dahulu sebelum diijinkan datang kesana. Pada kasus lain, pasien yang datang ke RVI adalah pasien rujukan dari dokter dan bidan yang ada di GP. GP menurut saya sama seperti klinik di Indonesia. GP tersebar di beberapa tempat. Setiap warga, baik itu warga lokal maupun pendatang yang menetap di uk diwajibkan untuk mendaftarkan diri di GP yang mereka inginkan, semakin dekat dengan alamat rumah semakin baik menurut saya. Lalu, setiap warga akan mendapatkan nomor NHS, National Health Service. Bagi kami pendatang dengan status pelajar, biaya kesehatan ditanggung oleh pemerintah uk. Namun sistem di GP pun tidak bisa seenaknya tinggal datang langsung diservice. Bila ingin bertemu dengan dokter, pasien diharuskan untuk membuat appoinment terlebih dahulu. Bila sedang mujur, si pasien dapat bertemu dokter keesokan harinya. Namun bila tidak, kemungkinan bertemu dokternya baru beberapa hari kemudian. Tak jarang ada yang sudah sembuh duluan sebelum sempat bertemu dokter. Hehe..Tapi jangan khawatir, untuk kasus yang butuh penanganan segera seperti luka kecil yang butuh jahitan, terbentur, keseleo, dll, atau bagi pasien yang khawatir akan penyakitnya bisa datang ke Walk In Centre. Walk in ini hampir sama dengan klinik di Indonesia karena pasien bisa langsung ditangani saat itu juga. Namun bedanya, di Walk In tidak ada dokter melainkan hanya perawat yang bertugas. Bila para perawat merasa si pasien butuh penanganan yang lebih intensif, maka perawat akan membuat surat rujukan agar si pasien bisa segera bertemu dengan dokter. Selain RVI, GP, dan Walk In Centre, ada klinik lainnya seperti klinik untuk mata, gigi, dan walk in yang menangani masalah sex dan kontrasepsi. Data masing-masing pasien sistemnya terpusat sehingga kemanapun si pasien pergi tak perlu repot-repot harus isi formulir ini dan itu. Cukup dengan memberitahu NHS number saja.
Kembali ke soal hami dan melahirkan. Setelah tes kehamilan sendiri, saya pun melapor ke GP. Pihak GP kemudian meminta saya untuk memberikan sample urine untuk di cek ke laboraturium untuk dicek benar atau tidaknya saya hamil. Lalu mereka membuatkan appointment untuk saya bertemu dengan bidan yang juga praktek di GP tersebut, namanya Allison. Sejak saat itu, setiap bulan saya harus ke GP untuk kontrol kehamilan dan seklaigus membawa sample urine. Kontrol kehamilan di GP ini dilakukan secara manual layaknya bidan-bidan di Indonesia. Beberapa kali selama kehamilan, sample darah saya diambil oleh Allison untuk dicek di laboraturiom. Hasilnya akan dilampirkan di buku riwayat kehamilan. USG baru dilakukan saat usia kehamilan menginjak 11 dan 16 minggu (kalau saya ga salah). Bila kehamilan dianggap baik-baik saja, maka usg hanya dilakukan 2x saja. Namun untuk multiple pregnancy atau kehamilan dengan resiko lainnya, usg bisa dilakukan hampir tiap bulan. Kebetulan kehamilan saya termasuk kategori yang pertama, sehingga sejak usia kehamilan 20 minggu mimpi untuk bertemu si upiak melalui usg hanya tinggal kenangan.
Usg kehamilan dilakukan di RVI, bagian maternity reward. Setiap bumil akan mendapat surat panggilan resmi dari RVI untuk datang pada hari dan waktu yang telah ditentukan. Tentu saja appoinment ini bersifat fleksibel, karena bumil bisa re-schedule bila kebetulan berhalangan dengan waktu yang telah ditentukan. Bila ingin mendapatkan print out hasil usg, bumil bisa menukarkan uang senilai £3 dengan kartu token yang nanti saat usg diberikan kepada dokter yang memeriksa. Pada usia kehamilan 25 minggu, saya kembali mendapat surat dari RVI untuk memeriksa tingkat gula darah dalam tubuh. Tidak semua bumil menjalankan tes ini. Kemungkinan karena berat badan saya yang semakin membengkak menjadi alasannya. Tapi ntah lah, saya pun tidak terlalu mengerti. Hasil tes langsung dikirim ke Allison, bidan yang menangani saya pada kehamilan ini.
Saat usia kehamilan mendekati masa melahirkan yaitu 35 minggu, hasil tes darah saya yang kedua menunjukkan bahwa HB (atau hb?) saya rendah, sehingga Allison terpaksa menambah asupan vitamin penambah darah untuk saya. Seminggu setelah itu saya kembali mendapat surat dari RVI untuk bertemu dengan dokter dan membicarakan kadar HB saya yang rendah itu. Dari penjelasan dokter saat itu yang saya bisa pahami, bahwa jumlah darah yang mengalir dan stok darah yang ada didalam tubuh saya dibawah garis normal sehingga akan membahayakan nantinya pada saat proses persalinan. Untuk itulah, dokter memutuskan bahwa hb saya harus segera dikoreksi dengan cara (saya ga tau istilah kedokterannya) memasukkan cairan yang berisi zat besi kedalam tubuh saya melalui selang seperti infus.
Keesokan harinya saya kembali ke RVI. Saat itu saya pikir saya akan ditempatkan disebuah ruangan seperti layaknya pasien yang akan diinfus. Namun ternyata saya dibawa kesuatu ruangan yang memiliki sekitar 7 kursi empuk dan tinggi. Disana telah ada beberapa ibu hamil yang juga sedang diinfus, walaupun mungkin berbeda kasus. Jadi, ibu hamil yang memiliki kasus kurang lebih sama seperti saya yang membutuhkan semacam booster infus, hanya ditempatkan disebuah ruangan dan disuruh duduk dikursi empuk tersebut, bukan ditempat tidur. Singkat cerita, akhirnya saya diinfus selama kurang lebih 1 jam. Lalu kemudian kandungan saya di cek kembali sebelum mereka mengijinkan saya pulang. Dan lagi, cek kandungan dengan cara manual layaknya memeriksa kandungan di bidan-bidan di Indonesia. Hasilnya akan dikirim langsung ke Allison sekitar 4 minggu kemudian, bertepatan dengan jadwal cek rutin saya selanjutnya. Namun saat itu bidan disana bilang kemungkinan saya tidak akan bisa datang ke appointment itu karena keburu sudah melahirkan. "But i'm pretty sure you won't make it.." begitu katanya. Saya hanya meng-aminkan didalam hati.
Minggu ke 39, belum ada tanda-tanda bahwa si baby akan segera keluar. Atas saran teman, saya sudah semakin aktif jongkok-jongkok, jalan sambil jongkok, dan olahraga ringan lainnya sambil tentunya terus beroda agar proses lahiran nanti diberikan kelancaran. Pada usia kandungan 40minggu lebih 2 hari, tepatnya pada hari senin pukul 08.40an pagi, tanda-tanda akan segera lahiran pun akhirnya muncul. Sedikit deg-deg-an, tapi Bismillah...semoga Allah mudahkan segalanya. Mba Ari, salah satu teman disini pun sudah saya hubungi untuk memberitahu bahwa sepertinya proses lahiran tak lama lagi dan kemungkinan Azzam akan dititip hari itu dirumah beliau. Ya, jauh-jauh hari saya memang sudah menghubungi mba Ari dan meminta bantuan kepada beliau untuk dititipin Azzam selagi saya lahiran kalau prosesnya terjadi malam hari. Maklumlah, disini kami tidak punya sanak saudara, jadinya teman-teman dari Indonesia lah keluarga terdekat kami di Newcastle ini.
Siang harinya, belum terasa sakit yang luar biasa, sehingga saya masih bisa beraktifitas seperti biasa. Namun pada malam harinya perut sudah mulai sakit sekali terasa. Alhamdulillah sudah mulai kontraksi. Semakin malam semakin sakit terasa sehingga suami memutuskan untuk menghubungi pihak RVI. Namun sesuai prosedur, bumil yang akan melahirkan belum boleh datang kerumah sakit sebelum kontraksi terasa per 4 atau 3 menit. Jadi walaupun sudah sakit bagaimanapun ya tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu izin dari RVI. Akhirya pukul 5 pagi, suami memutuskan untuk mengantar Azzam ke rumah mba Ari, agar kalaupun proses lahirannya pagi mba Ari bisa membantu mengantar Azzam kesekolah. Setelah kembali menghubungi rumah sakit akhirnya pada pukul 8.30 pagi saya diijinkan datang untuk melihat perkembangan bukaan rahim saya.
Begitu sampai di RVI dengan menggunakan taxi, saya dan suami langsung menuju maternity reward. Setelah melapor sebentar saya disambut oleh seorang bidan dan kemudian dipersilahkan masuk kedalam sebuah ruangan untuk dicek. Setelah dicek, sang bidan memberitahu bahwa ternyata rahim masih bukaan 1. Artinya masih ada kemungkinan besok harinya atau bahkan sampai 1 minggu lagi baru akan terjadi proses lahiran. Sedikit kecewa rasanya, tapi segera saya tepis.. Toh selama ini saya berdoa agar melahirkan disaat yang terbaik, dan saya yakin Allah Maha Tahu yang terbaik bagi saya sehingga saya optimis saat itu bukanlah saat yang terbaik. Setelah diberi paracetamol untuk sedikit meredam rasa sakit akibat kontraksi kamipun kembali kerumah. Sesampainya dirumah suami memaksa saya untuk makan walaupun sedikit. Karena sejak malam harinya saya tidak tidur, ditambah efek paracetamol akhirnya siang itu saya tertidur selama kurang lebih 2jam. Begitu bangun tidur, saya tidak terlalu merasakan lagi sakit kontraksi. Bukannya lega tapi malah membuat khawatir. Kenapa tiba-tiba rasa sakitnya hilang, apakah pengaruh obat atau ada hal yang lain. Namun rasa khawatir itu tidak bertahan lama, mulai pukul 3.45 sore rasa sakit akibat kontraksi kembali saya rasakan. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Suami yang senantiasa duduk disamping saya selalu mencatat jarak waktu antara satu kontraksi ke kontraksi berikutnya. Semakin malam rasanya semakin menjadi-jadi hingga tidak sanggup untuk makan atau minum sedikitpun. Pukul 2 dini hari suami menghubungi pihak RVI karena jarak kontraksi sudah semakin cepat. Akhirnya pihak RVI mengizinkan kami datang. Segeralah suami menghubungi taxi dan membangunkan Azzam yang tengah tertidur lelap untuk diantar kerumah mba Ari lagi. Selagi suami menyiapkan Azzam, saya pun terpaksa menyiapkan diri sendiri. Sembari menahan sakit yang tidak terhingga, saya menelpon mba Ari mengabari bahwa kami akan kesana sekitar 5 menit lagi. Ntahlah saat itu mba Ari mengerti apa yang bicarakan apa tidak karena saya sendiri rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk sekedar membuka mulut.
Beberapa saat kemudian (untunglah proses pemesanan taxi disini sangat cepat) taxi pun datang menjemput. Melihat ekspressi saya agaknya si supir taxi mengerti kalau saya dalam proses akan melahirkan. Sebelum ke RVI, kami mampir sebentar ke rumah mba Ari untuk mengantar Azzam. Walaupun jarak rumah saya dan mba Ari jika naik taxi tak lebih dari 5 menit, tapi dalam kondisi kontraksi yang luar biasa saat itu rasanya lamaaaaaa sekali. Setelah Azzam disambut mba Ari, kami langsung meluncur menuju rumah sakit. Seakan si supir tau akan sakit yang saya rasakan, mobil melaju kencang namun tetao tenang disetiap belokan dan setiap kali berhenti, membuat saya bisa sedikit nyaman didalamnya.. Ya minimal kepala saya tidak ikutan pusing. hehe..
Akhirnya kami sampai di rumah sakit. Setelah mengambil tas perlengkapan pasca melahirkan saya dan si baby, dan membayar ongkos taksi, kami langsung masuk kedalam maternity reward yang disana saya sudah dinanti oleh seorang bidan muda bernama Caley. Sama seperti sebelumnya saya kesana, saya dibawa kedalam sebuah ruangan untuk dicek bukaannya. Alhamdulillah, sudah bukaan 5 longgar, dan saya sudah diijinkan untuk tinggal di rumah sakit. Saya diminta untuk menunggu sebentar diruangan itu sementara si bidan menyiapkan ruangan untuk saya tempati. Tak berapa lama saya dipersilahkan masuk keruangan tersebut. Jangan Bayangkan sebuah ruangan yang lengkap dengan tempat tidur khusus rumah sakit yang dilengkapi dengan monitor seperti di film-film. Ruangan yang saya tempati luas sekali. Didalamnya terdapat dipan tanpa sisi yang dialas dengan perlak pas seukuran badan saya. Didepannya terdapat kamar mandi dan toilet. Disebelah kanan dipan terdapat lantai luas yang telah dialasi dengan perlak. Didepannya, disebelah kamar mandi terdapat sebuah bath up berbentuk oval dengan ukuran lumayan besar. Karena yang masuk kamar ini adalah bumil yang diperkirakan akan melahirkan normal, maka bumil diberi pilihan untuk melahirkan di dipan, dilantai, atau di bath up atau yang lebih dikenal dengan waterbath. Saya saat itu memilih cara lahiran konvensional, berbaring di dipan saja. Didalam ruangan itu juga dilengkapi dengan westafel, sofabed, box baby, dan dinding yg berada diatas dipan ternyata adalah lemari tempat menyimpang kain-kain dan perlak-perlak untuk mengganti yang lama bila diperlukan.
Saat itu pukul 3.30, saya officially sudah dalam proses lahiran. Si bidan tadi selalu berada disebelah saya ditemani troli yang berisi perlengkapan melahirkan dan alat untuk men-cek detak jantung si baby. Setiap kali selesai kontraksi, Caley selalu memerikas detak jantung si baby dan memberitahu saya bahwa si baby sudah semakin dekat ke jalan lahir. Ya, melahirkan normal disini hanya ditemani oleh seorang bidan. seorang saja. Tidak ada asisten atau apapun sebagainya. Saya ingat dia juga mencatat setiap reaksi saya didalam secarik kertas. Untuk mengurangi rasa sakit akibat kontraksi, bumil sebenarnya diberikan pilihan untuk menggunakan epidural (suntik bius tulang belakang) atau menghisap gas yang telah disediakan ditabung seperti tabung oksigen sehari-hari bagi penderita asma. Saya pun mencoba menghisap gas tersebut, tapi berhubung sakitnya sudah tidak bisa tertahan lagi sementara gas itu butuh waktu untuk bereaksi didalam tubuh. Akhirnya saya memilih untuk tidak menggunakan penghilang rasa sakit apapun dan berjuang sekuat tenaga untuk menghandle rasa sakitnya, dibantu dengan suami yang selalu mengingatkan untuk istghfar dan jalan jihad yang disediakan untuk ibu melahirkan.
Sekitar pukul 5.30, saya sudah dalam proses melahirkan yang sebenarnya. Tapi karena sudah 2 malam tidak tidur dan belum makan apa2 lagi sejak kemaren siangnya, saya sedikit kehabisan tenaga, sehingga butuh beberapa waktu jeda selama proses mengejan. Akhirnya pada pukul 6.11 pagi, si baby lahir dengan selamat, tak kurang satu apapun. Karena faktor cuaca, baby yang lahir disini tidak dimandikan selama 24jam. Baby cukup dilap saja, lalu langsung diserahkan ke saya. Alhamdulillah, rasa sakit hilang seketika diganti semangat baru melihat si malaikat kecil itu didekapan. Namun, tidak seperti di Indonesia dimana saat pasca lahiran saya bisa berbaring dan beristirahat, disini habis melahirkan saya mau tidak mau "harus" bergerak. Ntah itu untuk pindah tempat tidur beberapa saat sehabis melahirkan, ntah itu untuk kekamar mandi untuk setor urine sebelum pukul 12 siang, ataupun untuk menjaga atau menggendong baby aisyah karena suami harus segera pergi untuk menanam plasenta, membawa pulang kain2 kotor bekas lahiran, dan menjemput si sulung dari sekolah. Hampir tidak ada waktu untuk sekedar berbaring atau beristirahat pasca lahiran karena bidan-bidan yang bertugas berganti-gantian masuk kekamar untuk melakukan overall check terhadap si baby. Baru sekitar pukul 3 siang saya bisa sedikit beristirahat karena semua test terhadap baby telah dilakukan dan hanya tinggal 1 test lagi sebelum saya diijinkan pulang.
Ya, sebenarnya pukul 1 (7jam pasca lahiran) siang saya sudah diijinkan pulang, hanya saja masih ada 1 test lagi yaitu test mata yang harus dijalankan si baby yang sebelumnya terhambat karena si baby tidak mau membuka matanya sehingga bidan tersebut memutuskan untuk menunggu hingga si baby mau membuka mata. Dan itu membutuhkan waktu yang lama hingga pada sore harinya saat si baby masih belum mau membuka mata akhirnya si bidan terpaksa membuka paksa mata si baby. Setelah urusan tests dan check pada baby selesai, kami pun diijinkan pulang. Tepat pukul 7 malam, kami sudah sampai dirumah lagi. Lalu apakah saya langsung bisa istirahat? hihihi... tidak ternyata. Saya kepikiran ayam yang sudah diungkep yang ada didalam lemari es dan kebetulan belum ada stok makanan yang sudah di defrost. Akhirnya, alih-alih istirahat, saya pun langsung kembali aktif didapur, ntah itu masak ayam balado, atau beres-beres yang lainnya.
Pengalaman yang sungguh luar biasa bagi saya pribadi. Membuat saya berpikir tentang ibu saya dahulu saat melahirkan saya. Saya masih jauuuh lebih beruntung saat disini segala fasilitasnya memudahkan saya untuk menjalankan aktifitas sehari dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Bayangkan ibu-ibu jaman dahulu yang harus melakukan segala sesuatunya manual meskipun habis melahirkan.
Ini adalah penggalan pengalaman saya selama hamil dan melahirkan di Newcastle. Semoga pengalaman saya bisa memberi manfaat bagi yang membaca, terutama bagi saya pribadi.
Bundasibuyung
Newcastle Upon Tyne, 2014
Saat usia kehamilan mendekati masa melahirkan yaitu 35 minggu, hasil tes darah saya yang kedua menunjukkan bahwa HB (atau hb?) saya rendah, sehingga Allison terpaksa menambah asupan vitamin penambah darah untuk saya. Seminggu setelah itu saya kembali mendapat surat dari RVI untuk bertemu dengan dokter dan membicarakan kadar HB saya yang rendah itu. Dari penjelasan dokter saat itu yang saya bisa pahami, bahwa jumlah darah yang mengalir dan stok darah yang ada didalam tubuh saya dibawah garis normal sehingga akan membahayakan nantinya pada saat proses persalinan. Untuk itulah, dokter memutuskan bahwa hb saya harus segera dikoreksi dengan cara (saya ga tau istilah kedokterannya) memasukkan cairan yang berisi zat besi kedalam tubuh saya melalui selang seperti infus.
Keesokan harinya saya kembali ke RVI. Saat itu saya pikir saya akan ditempatkan disebuah ruangan seperti layaknya pasien yang akan diinfus. Namun ternyata saya dibawa kesuatu ruangan yang memiliki sekitar 7 kursi empuk dan tinggi. Disana telah ada beberapa ibu hamil yang juga sedang diinfus, walaupun mungkin berbeda kasus. Jadi, ibu hamil yang memiliki kasus kurang lebih sama seperti saya yang membutuhkan semacam booster infus, hanya ditempatkan disebuah ruangan dan disuruh duduk dikursi empuk tersebut, bukan ditempat tidur. Singkat cerita, akhirnya saya diinfus selama kurang lebih 1 jam. Lalu kemudian kandungan saya di cek kembali sebelum mereka mengijinkan saya pulang. Dan lagi, cek kandungan dengan cara manual layaknya memeriksa kandungan di bidan-bidan di Indonesia. Hasilnya akan dikirim langsung ke Allison sekitar 4 minggu kemudian, bertepatan dengan jadwal cek rutin saya selanjutnya. Namun saat itu bidan disana bilang kemungkinan saya tidak akan bisa datang ke appointment itu karena keburu sudah melahirkan. "But i'm pretty sure you won't make it.." begitu katanya. Saya hanya meng-aminkan didalam hati.
Minggu ke 39, belum ada tanda-tanda bahwa si baby akan segera keluar. Atas saran teman, saya sudah semakin aktif jongkok-jongkok, jalan sambil jongkok, dan olahraga ringan lainnya sambil tentunya terus beroda agar proses lahiran nanti diberikan kelancaran. Pada usia kandungan 40minggu lebih 2 hari, tepatnya pada hari senin pukul 08.40an pagi, tanda-tanda akan segera lahiran pun akhirnya muncul. Sedikit deg-deg-an, tapi Bismillah...semoga Allah mudahkan segalanya. Mba Ari, salah satu teman disini pun sudah saya hubungi untuk memberitahu bahwa sepertinya proses lahiran tak lama lagi dan kemungkinan Azzam akan dititip hari itu dirumah beliau. Ya, jauh-jauh hari saya memang sudah menghubungi mba Ari dan meminta bantuan kepada beliau untuk dititipin Azzam selagi saya lahiran kalau prosesnya terjadi malam hari. Maklumlah, disini kami tidak punya sanak saudara, jadinya teman-teman dari Indonesia lah keluarga terdekat kami di Newcastle ini.
Siang harinya, belum terasa sakit yang luar biasa, sehingga saya masih bisa beraktifitas seperti biasa. Namun pada malam harinya perut sudah mulai sakit sekali terasa. Alhamdulillah sudah mulai kontraksi. Semakin malam semakin sakit terasa sehingga suami memutuskan untuk menghubungi pihak RVI. Namun sesuai prosedur, bumil yang akan melahirkan belum boleh datang kerumah sakit sebelum kontraksi terasa per 4 atau 3 menit. Jadi walaupun sudah sakit bagaimanapun ya tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu izin dari RVI. Akhirya pukul 5 pagi, suami memutuskan untuk mengantar Azzam ke rumah mba Ari, agar kalaupun proses lahirannya pagi mba Ari bisa membantu mengantar Azzam kesekolah. Setelah kembali menghubungi rumah sakit akhirnya pada pukul 8.30 pagi saya diijinkan datang untuk melihat perkembangan bukaan rahim saya.
Begitu sampai di RVI dengan menggunakan taxi, saya dan suami langsung menuju maternity reward. Setelah melapor sebentar saya disambut oleh seorang bidan dan kemudian dipersilahkan masuk kedalam sebuah ruangan untuk dicek. Setelah dicek, sang bidan memberitahu bahwa ternyata rahim masih bukaan 1. Artinya masih ada kemungkinan besok harinya atau bahkan sampai 1 minggu lagi baru akan terjadi proses lahiran. Sedikit kecewa rasanya, tapi segera saya tepis.. Toh selama ini saya berdoa agar melahirkan disaat yang terbaik, dan saya yakin Allah Maha Tahu yang terbaik bagi saya sehingga saya optimis saat itu bukanlah saat yang terbaik. Setelah diberi paracetamol untuk sedikit meredam rasa sakit akibat kontraksi kamipun kembali kerumah. Sesampainya dirumah suami memaksa saya untuk makan walaupun sedikit. Karena sejak malam harinya saya tidak tidur, ditambah efek paracetamol akhirnya siang itu saya tertidur selama kurang lebih 2jam. Begitu bangun tidur, saya tidak terlalu merasakan lagi sakit kontraksi. Bukannya lega tapi malah membuat khawatir. Kenapa tiba-tiba rasa sakitnya hilang, apakah pengaruh obat atau ada hal yang lain. Namun rasa khawatir itu tidak bertahan lama, mulai pukul 3.45 sore rasa sakit akibat kontraksi kembali saya rasakan. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Suami yang senantiasa duduk disamping saya selalu mencatat jarak waktu antara satu kontraksi ke kontraksi berikutnya. Semakin malam rasanya semakin menjadi-jadi hingga tidak sanggup untuk makan atau minum sedikitpun. Pukul 2 dini hari suami menghubungi pihak RVI karena jarak kontraksi sudah semakin cepat. Akhirnya pihak RVI mengizinkan kami datang. Segeralah suami menghubungi taxi dan membangunkan Azzam yang tengah tertidur lelap untuk diantar kerumah mba Ari lagi. Selagi suami menyiapkan Azzam, saya pun terpaksa menyiapkan diri sendiri. Sembari menahan sakit yang tidak terhingga, saya menelpon mba Ari mengabari bahwa kami akan kesana sekitar 5 menit lagi. Ntahlah saat itu mba Ari mengerti apa yang bicarakan apa tidak karena saya sendiri rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk sekedar membuka mulut.
Beberapa saat kemudian (untunglah proses pemesanan taxi disini sangat cepat) taxi pun datang menjemput. Melihat ekspressi saya agaknya si supir taxi mengerti kalau saya dalam proses akan melahirkan. Sebelum ke RVI, kami mampir sebentar ke rumah mba Ari untuk mengantar Azzam. Walaupun jarak rumah saya dan mba Ari jika naik taxi tak lebih dari 5 menit, tapi dalam kondisi kontraksi yang luar biasa saat itu rasanya lamaaaaaa sekali. Setelah Azzam disambut mba Ari, kami langsung meluncur menuju rumah sakit. Seakan si supir tau akan sakit yang saya rasakan, mobil melaju kencang namun tetao tenang disetiap belokan dan setiap kali berhenti, membuat saya bisa sedikit nyaman didalamnya.. Ya minimal kepala saya tidak ikutan pusing. hehe..
Akhirnya kami sampai di rumah sakit. Setelah mengambil tas perlengkapan pasca melahirkan saya dan si baby, dan membayar ongkos taksi, kami langsung masuk kedalam maternity reward yang disana saya sudah dinanti oleh seorang bidan muda bernama Caley. Sama seperti sebelumnya saya kesana, saya dibawa kedalam sebuah ruangan untuk dicek bukaannya. Alhamdulillah, sudah bukaan 5 longgar, dan saya sudah diijinkan untuk tinggal di rumah sakit. Saya diminta untuk menunggu sebentar diruangan itu sementara si bidan menyiapkan ruangan untuk saya tempati. Tak berapa lama saya dipersilahkan masuk keruangan tersebut. Jangan Bayangkan sebuah ruangan yang lengkap dengan tempat tidur khusus rumah sakit yang dilengkapi dengan monitor seperti di film-film. Ruangan yang saya tempati luas sekali. Didalamnya terdapat dipan tanpa sisi yang dialas dengan perlak pas seukuran badan saya. Didepannya terdapat kamar mandi dan toilet. Disebelah kanan dipan terdapat lantai luas yang telah dialasi dengan perlak. Didepannya, disebelah kamar mandi terdapat sebuah bath up berbentuk oval dengan ukuran lumayan besar. Karena yang masuk kamar ini adalah bumil yang diperkirakan akan melahirkan normal, maka bumil diberi pilihan untuk melahirkan di dipan, dilantai, atau di bath up atau yang lebih dikenal dengan waterbath. Saya saat itu memilih cara lahiran konvensional, berbaring di dipan saja. Didalam ruangan itu juga dilengkapi dengan westafel, sofabed, box baby, dan dinding yg berada diatas dipan ternyata adalah lemari tempat menyimpang kain-kain dan perlak-perlak untuk mengganti yang lama bila diperlukan.
Saat itu pukul 3.30, saya officially sudah dalam proses lahiran. Si bidan tadi selalu berada disebelah saya ditemani troli yang berisi perlengkapan melahirkan dan alat untuk men-cek detak jantung si baby. Setiap kali selesai kontraksi, Caley selalu memerikas detak jantung si baby dan memberitahu saya bahwa si baby sudah semakin dekat ke jalan lahir. Ya, melahirkan normal disini hanya ditemani oleh seorang bidan. seorang saja. Tidak ada asisten atau apapun sebagainya. Saya ingat dia juga mencatat setiap reaksi saya didalam secarik kertas. Untuk mengurangi rasa sakit akibat kontraksi, bumil sebenarnya diberikan pilihan untuk menggunakan epidural (suntik bius tulang belakang) atau menghisap gas yang telah disediakan ditabung seperti tabung oksigen sehari-hari bagi penderita asma. Saya pun mencoba menghisap gas tersebut, tapi berhubung sakitnya sudah tidak bisa tertahan lagi sementara gas itu butuh waktu untuk bereaksi didalam tubuh. Akhirnya saya memilih untuk tidak menggunakan penghilang rasa sakit apapun dan berjuang sekuat tenaga untuk menghandle rasa sakitnya, dibantu dengan suami yang selalu mengingatkan untuk istghfar dan jalan jihad yang disediakan untuk ibu melahirkan.
Sekitar pukul 5.30, saya sudah dalam proses melahirkan yang sebenarnya. Tapi karena sudah 2 malam tidak tidur dan belum makan apa2 lagi sejak kemaren siangnya, saya sedikit kehabisan tenaga, sehingga butuh beberapa waktu jeda selama proses mengejan. Akhirnya pada pukul 6.11 pagi, si baby lahir dengan selamat, tak kurang satu apapun. Karena faktor cuaca, baby yang lahir disini tidak dimandikan selama 24jam. Baby cukup dilap saja, lalu langsung diserahkan ke saya. Alhamdulillah, rasa sakit hilang seketika diganti semangat baru melihat si malaikat kecil itu didekapan. Namun, tidak seperti di Indonesia dimana saat pasca lahiran saya bisa berbaring dan beristirahat, disini habis melahirkan saya mau tidak mau "harus" bergerak. Ntah itu untuk pindah tempat tidur beberapa saat sehabis melahirkan, ntah itu untuk kekamar mandi untuk setor urine sebelum pukul 12 siang, ataupun untuk menjaga atau menggendong baby aisyah karena suami harus segera pergi untuk menanam plasenta, membawa pulang kain2 kotor bekas lahiran, dan menjemput si sulung dari sekolah. Hampir tidak ada waktu untuk sekedar berbaring atau beristirahat pasca lahiran karena bidan-bidan yang bertugas berganti-gantian masuk kekamar untuk melakukan overall check terhadap si baby. Baru sekitar pukul 3 siang saya bisa sedikit beristirahat karena semua test terhadap baby telah dilakukan dan hanya tinggal 1 test lagi sebelum saya diijinkan pulang.
Ya, sebenarnya pukul 1 (7jam pasca lahiran) siang saya sudah diijinkan pulang, hanya saja masih ada 1 test lagi yaitu test mata yang harus dijalankan si baby yang sebelumnya terhambat karena si baby tidak mau membuka matanya sehingga bidan tersebut memutuskan untuk menunggu hingga si baby mau membuka mata. Dan itu membutuhkan waktu yang lama hingga pada sore harinya saat si baby masih belum mau membuka mata akhirnya si bidan terpaksa membuka paksa mata si baby. Setelah urusan tests dan check pada baby selesai, kami pun diijinkan pulang. Tepat pukul 7 malam, kami sudah sampai dirumah lagi. Lalu apakah saya langsung bisa istirahat? hihihi... tidak ternyata. Saya kepikiran ayam yang sudah diungkep yang ada didalam lemari es dan kebetulan belum ada stok makanan yang sudah di defrost. Akhirnya, alih-alih istirahat, saya pun langsung kembali aktif didapur, ntah itu masak ayam balado, atau beres-beres yang lainnya.
Pengalaman yang sungguh luar biasa bagi saya pribadi. Membuat saya berpikir tentang ibu saya dahulu saat melahirkan saya. Saya masih jauuuh lebih beruntung saat disini segala fasilitasnya memudahkan saya untuk menjalankan aktifitas sehari dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Bayangkan ibu-ibu jaman dahulu yang harus melakukan segala sesuatunya manual meskipun habis melahirkan.
Ini adalah penggalan pengalaman saya selama hamil dan melahirkan di Newcastle. Semoga pengalaman saya bisa memberi manfaat bagi yang membaca, terutama bagi saya pribadi.
Bundasibuyung
Newcastle Upon Tyne, 2014